Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai definisi ilmu serta perbedaan antara pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusia. Meskipun segala pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Allah SWT, namun terdapat pengetahuan khusus yang diberikan-Nya kepada manusia. Salah satunya adalah kemampuan untuk menafsirkan teks Al-Quran.
Imam Abu Ishak As-Syirazi dalam karyanya yang berjudul Al-Luma’ fî Ushûlil Fiqih menjelaskan bahwa ilmu dapat dimaknai sebagai pengetahuan yang sesuai dengan realitas, berbeda dengan pandangan kaum Mu’tazilah yang menganggap ilmu sebagai keyakinan yang memuaskan hati seseorang. Pandangan ini dinilai keliru karena seseorang yang berdosa pun dapat meyakini bahwa tindakannya benar.
As-Syirazi, yang mengikuti Madzhab Teologis Asyariyyah, berupaya menyelaraskan antara pengetahuan dan realitas, berbeda dengan pandangan kaum Mu’tazilah yang mengaitkan antara pengetahuan dan keyakinan. Akal sehat manusia menegaskan bahwa pengetahuan harus sesuai dengan realitas.
Dalam mengkategorikan ilmu, As-Syirazi membaginya menjadi dua jenis, yaitu ilmu qadim (yang berasal dari Allah) dan ilmu muhdits (yang diberikan kepada makhluk). Ilmu muhdits terbagi lagi menjadi ilmu dlaruri (pengetahuan yang diperoleh tanpa proses) dan ilmu muktasab (pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemikiran dan pencarian dalil).
Dari penjelasan tersebut, kita memahami bahwa di balik pengetahuan ilahi terdapat kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia untuk berpikir dan menghasilkan pengetahuan melalui proses pemikiran dan pencarian dalil.
Sebagai contoh, kita tidak boleh secara harfiah mengartikan bahwa Allah memiliki tangan karena hal itu adalah sifat makhluk. Oleh karena itu, kita perlu melakukan proses penafsiran agar memahami bahwa tangan dalam konteks tersebut melambangkan kekuasaan.
Menyelami teks Al-Quran tanpa proses berpikir dapat melemahkan keimanan. Oleh karena itu, kita perlu menghargai kemampuan berpikir yang dianugerahkan Allah kepada kita.
