Dalam studi fiqih, shalat sunah atau shalat di luar shalat fardhu dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu yang berkaitan dengan waktu dan yang berkaitan dengan sebab. Kategori pertama mencakup shalat-shalat yang harus dilakukan pada waktu tertentu seperti shalat sunah rawatib, tahajud, witir, dhuha, tarawih, serta shalat sunah idul fitri dan idul adha. Sedangkan kategori kedua mencakup shalat-shalat yang dilakukan setelah ada sebab tertentu seperti shalat hajat, istikharah, istisqa, gerhana, dan jenazah.
Lebih lanjut, shalat sunah atau shalat di luar shalat fardhu yang berkaitan dengan sebab juga dibagi menjadi tiga, yaitu karena sebab yang mendahului (mutaqaddim), sebab yang membarengi (muqarin), dan sebab yang muncul belakangan (muta’akhir). Contohnya, shalat sunah tahiyatul masjid dan wudhu termasuk dalam kategori sebab mutaqaddim; shalat istisqa dan kusuf termasuk dalam kategori sebab muqarin; sedangkan shalat istikharah dan tobat termasuk dalam kategori sebab muta’akhir.
Pandangan ulama Syafi’i menegaskan bahwa shalat dengan sebab mutaqaddim atau muqarin dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu tanpa menjadi makruh karena adanya sebab yang mendahului atau menyertai. Namun, shalat dengan sebab muta’akhir tidak diperbolehkan dilakukan pada waktu-waktu terlarang.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa beberapa shalat sunah seperti gerhana, istisqa, jenazah, tahiyatul masjid, dan syukrul wudhu termasuk dalam kategori pertama dan kedua. Sedangkan shalat hajat, istikharah, tobat, dan tasbih termasuk dalam kategori ketiga karena memiliki sebab muta’akhir. Meskipun demikian, waktu pelaksanaan shalat-shalat tersebut cukup fleksibel asalkan tidak dilakukan pada waktu-waktu terlarang yang telah disebutkan.
Untuk meraih keutamaan tertentu dari shalat-shalat seperti hajat dan istikharah yang berkaitan dengan permohonan kepada Allah, waktu malam menjadi waktu terbaik berdasarkan beberapa hadits yang ada.