Pada tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai akad tawarruq dalam transaksi jual beli konvensional. Namun, sebelum membahas lebih lanjut praktik tawarruq dalam perbankan syariah, penting untuk memahami konsep hiyal (siasat) dalam pandangan fiqih. Konsep ini menjadi krusial karena berkaitan dengan prinsip hukum dalam Islam yang melarang tindakan yang mengakibatkan kebenaran dihilangkan dan kesalahan diperkuat.
Dalam konteks transaksi, terdapat kaidah yang menyatakan bahwa setiap strategi hukum yang bertujuan untuk membatalkan yang benar dan memperkuat yang salah, hukumnya adalah haram. Hal ini juga berlaku dalam kasus jual beli barang najis yang secara umum dianggap haram dalam fiqih. Meskipun kotoran hewan memiliki manfaat sebagai pupuk tanaman, namun jual beli kotoran tetap diharamkan.
Dalam diskusi mengenai hiyal, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dari berbagai madzhab. Ulama dari madzhab Hanbali menegaskan larangan terhadap hiyal karena dapat membuka celah untuk membolehkan hal-hal yang seharusnya dilarang. Sementara ulama dari madzhab Syafi’iyah memandang bahwa konsep mashlahatul mursalah, yang menekankan pada kemaslahatan umat manusia, dapat menjadi dasar bagi penggunaan hiyal yang tidak bertentangan dengan syariah.
Khususnya dalam konteks pemindahan barang najis, seperti dalam kasus jual beli kotoran, pemikiran ulama Syafi’iyah mengenai naqlu al-yad (pengalihan kuasa) dapat diterapkan. Dengan cara ini, pemindahan barang najis dapat dilakukan tanpa melanggar hukum syariah.
Namun demikian, perlu diingat bahwa penggunaan hiyal tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Misalnya, dalam transaksi pertukaran jagung, penggunaan hiyal yang mengakibatkan adanya unsur riba al-fadl harus dihindari.
Dengan pemahaman yang mendalam mengenai konsep hiyal dalam fiqih syariah, diharapkan umat Islam dapat menjalankan transaksi dan aktivitas ekonomi mereka sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tanpa melanggar ketentuan hukum yang telah ditetapkan.