Dalam ajaran Islam, terdapat perbedaan pandangan mengenai menjadi orang kaya atau orang miskin. Banyak orang berdoa agar diberikan rezeki yang melimpah untuk menjadi kaya, namun Nabi Muhammad SAW sendiri berdoa agar dihidupkan dan diwafatkan dalam keadaan miskin. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam mengenai mana yang lebih utama.
Doa memohon rezeki yang luas merupakan hal yang sah dalam Islam, namun demikian, doa Nabi Muhammad SAW yang mengharapkan kemiskinan juga memiliki kedudukan yang penting dalam keyakinan umat Islam. Perspektif ulama dari kitab An-Nafais Al-Uluwiyah fi Masailis Shufiyyah menjelaskan bahwa kemiskinan bukanlah suatu kehinaan, melainkan suatu hiasan bagi hamba yang saleh.
Menurut kitab tersebut, menerima kefakiran dengan kesabaran, keridhaan, tawakal, dan syukur kepada Allah adalah kunci agar kemiskinan tidak menjadi musibah. Sebaliknya, jika seseorang tidak ridha dengan keadaan kemiskinan dan sering melakukan protes, maka kemiskinan tersebut dapat menjadi ujian besar yang mendatangkan siksa dari Allah.
Dalam Islam, menjadi orang miskin bukanlah suatu keutamaan jika tidak diiringi dengan kesabaran dan rasa syukur kepada Allah. Kesimpulannya, baik menjadi orang kaya maupun orang miskin dapat menjadi amal yang utama asalkan dijalani dengan penuh kesabaran, keridhaan, tawakal, serta kesyukuran kepada Allah.
Intinya, kunci utamanya adalah bagaimana keadaan finansial seseorang mampu mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Apakah melalui kesabaran dan rasa syukur dalam kemiskinan, atau dengan rasa syukur dan ketakwaan dalam kekayaan. Hal ini menunjukkan pentingnya sikap hati dan keyakinan seseorang dalam menjalani kehidupan finansialnya sesuai dengan ajaran Islam.