Pada musim kurban, banyak masyarakat Indonesia terlibat dalam praktik berkurban sebagai wujud pengabdian dan ibadah kepada Allah SWT. Namun, dalam proses penyembelihan hewan kurban, seringkali muncul permasalahan terkait penjualan kulit dan kepala hewan kurban.
Menurut Imam Nawawi dalam mazhab Syafi’i, menjual bagian-bagian hewan kurban seperti daging, kulit, tanduk, dan rambut dilarang. Hal ini juga berlaku untuk menjadikan kulit sebagai upah bagi tukang jagal. Sebaliknya, disarankan bagi yang berkurban atau menerima hewan kurban untuk menyedekahkan bagian-bagian tersebut atau memanfaatkannya untuk keperluan lain.
Jika kulit hewan kurban tidak dimakan oleh masyarakat, panitia kurban dapat memotong-motong kulit tersebut dan mencampurkannya dengan daging untuk didistribusikan kepada masyarakat. Hal ini diharapkan dapat membantu orang yang kurang mampu untuk mendapatkan konsumsi tambahan.
Namun, penting untuk diingat bahwa menjual kulit atau bagian lain dari hewan kurban dapat membuat ibadah kurban tersebut menjadi tidak sah. Hadis menyatakan bahwa orang yang menjual kulit hewan kurban tidak akan mendapatkan pahala yang dijanjikan bagi mereka yang berkurban.
Jika terlanjur terjadi penjualan yang tidak sah, langkah yang perlu diambil adalah mengembalikan daging kepada pemilik asli atau menggantinya dengan daging lain. Orang yang menerima daging kurban juga tidak diperbolehkan menjualnya kembali kecuali jika ia adalah orang fakir.
Dalam hal pengelolaan operasional kurban, panitia disarankan untuk meminta sumbangan dari para pembayar kurban untuk biaya operasional termasuk pembayaran tukang jagal. Tukang jagal juga sebaiknya menerima bagian sesuai dengan status mustahiq bukan sebagai upah atas jasanya.
Dengan memahami tuntutan etis dan hukum terkait penyelenggaraan kurban, diharapkan praktik berkurban dapat dilakukan dengan baik dan sesuai dengan ajaran agama. Semoga informasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam proses berkurban.