Bank Syariah telah hadir di Indonesia sejak awal tahun 1990an, menawarkan sistem bagi hasil yang bebas dari riba. Sistem ini bertujuan untuk menciptakan kerjasama yang seimbang antara nasabah dan pihak bank selaku pengelola. Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang legalitas Perbankan Syariah, dengan ciri utama berdasarkan bagi hasil antara pemilik harta (shahib al-mal) dan pihak bank (mudharib). Nisbah (prosentase bagi hasil) biasanya disepakati antara 70% banding 30%, 65% banding 35%, atau 60% banding 40%.
Namun, dalam praktiknya, pembagian bagi hasil ini seringkali stabil dan terkadang berada di bawah prosentase bunga bank konvensional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai proses pembagian hasil yang sebenarnya terjadi. Walaupun syariah menegaskan pentingnya keterbukaan dalam sistem pembagian hasil antara nasabah (shahibul mal) dan pengelola (mudharib), realitas di lapangan kadangkala menunjukkan ketidaksesuaian.
Para ulama sepakat bahwa ‘amil tidak boleh mengambil laba yang menjadi bagiannya tanpa kehadiran pemilik modal, dan kehadiran pemilik modal merupakan syarat penting dalam pembagian harta dan pengambilan bagian laba oleh ‘amil. Dalam konteks ini, hanya mengandalkan saksi atau bukti lain tidak cukup untuk memenuhi syarat tersebut.
Diperlukan pembenahan sistem agar Bank Syariah dapat menghindari cacat syariah yang mengancam norma syariah itu sendiri. Keputusan dalam Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah Muktamar NU 2010 juga menggarisbawahi pentingnya konsistensi dengan prinsip-prinsip syariah sebagai landasan utama bank-bank syariah di Indonesia.