Masa menjelang pemilihan umum Presiden selalu menjadi waktu yang penuh dengan wacana politik. Intensitas politik meningkat secara signifikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia maya. Tidak ada lagi ruang yang bebas dari pembicaraan politik, di mana setiap orang terlibat dalam memilih kandidat yang diunggulkan. Namun, seringkali pembahasan tentang calon presiden melewati batas yang seharusnya. Bukan hanya seputar visi, misi, atau realitas objektif, namun juga terjerumus pada hal-hal yang bersifat personal terhadap para calon presiden.
Sayangnya, pembahasan yang tidak terkontrol ini dapat merusak kesehatan sosial masyarakat. Terutama ketika stasiun televisi dan media massa ikut terlibat dalam politisasi yang cenderung merugikan. Dampak pertama dari situasi ini adalah pada bangsa itu sendiri, di mana masyarakat dibanjiri dengan informasi yang tidak benar, menumbuhkan pemikiran sempit, memperdalam pemisahan, bahkan memicu permusuhan di antara sesama.
Di tengah konteks ini, penting untuk mencermati prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam agama Islam terkait dengan pembicaraan negatif, seperti ghibah dan buhtan. Surat Al-Hujurat ayat 12 dengan jelas mengingatkan umatnya untuk menjauhi prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, dan tidak menggunjing satu sama lain. Analogi yang diberikan tentang memakan daging saudara yang sudah mati sebagai bentuk kejijikan menyadarkan kita akan betapa seriusnya larangan tersebut.
Hadits-hadits Rasulullah saw juga memberikan gambaran yang jelas tentang apa itu ghibah dan bagaimana praktiknya seharusnya berlangsung. Menjatuhkan orang lain dengan cerita yang tidak sesuai dengan kenyataan atau bahkan sekadar isyarat negatif sudah termasuk dalam kategori ghibah. Perilaku ini tidak hanya merugikan individu yang diserang, tetapi juga merusak tatanan sosial secara luas.
Al-Ghazali dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub menjelaskan betapa berbahayanya ghibah dari sudut pandang agama. Beliau menegaskan bahwa ghibah lebih kejam daripada zina, karena orang yang berzina masih bisa bertaubat dan mendapat ampunan, sementara pelaku ghibah sulit untuk mendapatkan maaf. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lidah dan sikap dalam menyikapi orang lain, terutama di tengah situasi politik seperti saat ini.
Dengan memahami bahaya ghibah dalam konteks politik, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam menyampaikan pendapat dan menanggapi perbedaan pendapat. Daripada terjerumus dalam politik hitam dan saling menjatuhkan, mari kita membangun diskusi yang konstruktif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan serta persatuan demi kesejahteraan bangsa dan negara.