Amal ibadah, baik secara lahir maupun batin, harus didasarkan pada sumber-sumber keagamaan seperti Al-Quran, Sunah, Ijmak, dan Qiyas. Umat Islam, terutama pengikut Ahlussunnah wal Jama‘ah, sepakat mengenai hal ini. Jika ibadah tidak didasari oleh sumber-sumber tersebut, akan ada konsekuensi serius. Mereka khawatir agama mereka akan rusak dan ingin agar ibadah yang bersumber dari tuntunan agama diterima dengan baik di sisi Allah.
Namun, umat Islam sering kali dihantui oleh keraguan saat mengamalkan ibadah berdasarkan hadis. Kekhawatiran terhadap hadis palsu ini sangat valid. Kesesatan dalam pengamalan ibadah yang berlandaskan hadis dhaif dapat menyebabkan ketakutan yang berlebihan di masyarakat. Sebagian orang bahkan menjadi alergi terhadap hadis dhaif. Istilah dhaif berarti lemah, baik dari segi perawi maupun isi hadis itu sendiri.
Sikap alergi ini sudah melampaui kewaspadaan yang dianjurkan oleh agama. Imam Nawawi dalam kitab al-Azkar memberikan komentar terkait masalah ini. Ia menegaskan bahwa ulama dari kalangan ahli hadis dan fiqih menyatakan bahwa umat boleh dan dianjurkan untuk mengamalkan ibadah berdasarkan hadis dhaif. Hal ini dilakukan untuk meraih keutamaan dan menjauhkan umat dari hal-hal yang tidak baik, asalkan hadis tersebut tidak palsu.
Namun, untuk kepentingan hukum seperti menentukan halal, haram, jual-beli, nikah, talaq, dan sebagainya, umat harus hanya mendasarkan pada hadis shahih atau hasan. Hadis dhaif dapat digunakan, tetapi dengan penuh kehati-hatian.
Oleh karena itu, untuk menghindari kecemasan yang tidak perlu, umat Islam sebaiknya kembali mengingat pedoman dari Imam Nawawi yang telah dikemukakan di atas.