Barangsiapa meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan kewajiban membayar puasa (qadha) karena adanya udzur syar’i, seperti sakit, maka orang tersebut tidak berdosa. Ahli waris yang ditinggalkan pun tidak wajib membayar fidyah. Namun, jika penangguhan kewajiban membayar puasa (qadha) itu disengaja atau tanpa ada unsur udzur syar’i, maka kerabat yang ditinggalkan berkewajiban untuk membayar fidyah bagi si mayit dengan ketentuan satu hari satu mud.

Menurut qaul qadim Imam Syafi’i, dianjurkan bagi wali mayit untuk berpuasa sebagai pengganti kewajiban yang ditinggalkan oleh si mayit. Hal ini dijelaskan dalam kitab Syarah Muadz-dzab, dan Imam Nawawi juga mendukung pendapat qaul Qadim tersebut dalam kitab Raudhah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: “Siapa yang meninggal dunia dan ia meninggalkan kewajiban (qadha) puasa, maka ahli warisnya diwajibkan berpuasa untuk menggantikan kewajibannya.” (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Hadits lain yang menjelaskan hal serupa juga diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah r.a. Dalam hadits tersebut, Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa ada seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan kewajiban puasa nadzar yang belum sempat ia tunaikan. Apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Apakah pendapatmu, jika ibumu mempunyai hutang dan kamu membayarnya, apakah hutangnya terbayarkan?” Perempuan itu menjawab: “Ya.” Nabi s.a.w. kemudian bersabda: “Berpuasalah untuk ibumu.” (Hadits Shahih, riwayat Muslim).

Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa peran ahli waris penting dalam menggantikan kewajiban puasa yang ditinggalkan oleh si mayit, baik melalui puasa atau pembayaran fidyah, sesuai dengan keadaan dan alasan yang melatarbelakanginya.