Dalam berijtihad, ulama memiliki panduan yang berbeda-beda. Namun, secara substansial, semua ijtihad tetap berlandaskan pada dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis. Ketika tidak ada legitimasi syara’, amalan yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah SAW tidak otomatis dianggap dilarang, baik dalam aspek makruh maupun haram.
Di era modern yang serba canggih ini, kita menemui banyak hal baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, sahabat tabi’in, atau tabi’it tabi’in. Apakah kita akan menganggap bahwa semua hal yang belum ada pada zaman mereka harus ditinggalkan? Jika kita berpegang pada anggapan bahwa segala sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah SAW juga harus ditinggalkan, banyak hal ‘haram’ yang mungkin telah kita lakukan, baik dalam ibadah maupun non-ibadah.
Contoh yang jelas adalah pelaksanaan shalat tarawih. Pada zaman Rasulullah SAW, shalat tarawih tidak dilakukan dengan cara yang sama seperti saat ini di Masjidil Haram. Kini, pelaksanaan shalat tersebut menggunakan alat elektronik seperti pengeras suara dan pendingin ruangan. Dalam konteks non-ibadah, Rasulullah SAW dikenal dengan kesederhanaannya dan tidak mengenakan pakaian mahal. Saat ini, banyak umat Muslim di seluruh dunia mengenakan pakaian bermerek. Apakah ini bisa dianggap sebagai perilaku haram yang telah menjadi budaya? Tentu saja tidak.
Jika kita cermati dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadis, tampak bahwa Allah SWT tidak pernah membedakan legitimasi sebuah hukum secara hitam-putih. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji persoalan yang ada dengan kaidah fikih yang telah ditetapkan. Jangan sampai kita terjebak dalam beragama dengan mengharamkan semua hal yang belum mendapatkan legitimasi syara’.
Ada beberapa alasan mengapa Rasulullah SAW meninggalkan perkara tertentu. Salah satunya adalah karena beliau belum pernah mencicipi makanan tersebut sebelumnya. Misalnya, penolakan beliau untuk makan daging dhab yang diceritakan oleh Ibnu Abbas RA. Selain itu, ada kalanya Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu karena lupa, seperti dalam kasus sujud sahwi yang dilupakan beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA.
Rasulullah SAW juga terkadang meninggalkan suatu perkara karena khawatir umatnya akan menganggap hal tersebut sebagai kewajiban jika dilakukan secara terus-menerus. Sebagai contoh, beliau melaksanakan shalat taraweh secara berjamaah hanya selama empat kali di bulan Ramadhan; selebihnya, beliau melaksanakannya sendiri di rumah.
Oleh karena itu, kita perlu menjalankan ibadah ajaran Islam secara proporsional. Hal-hal yang wajib harus dilaksanakan, yang haram harus ditinggalkan, sunah lebih baik ditunaikan, sementara makhruh lebih baik dijauhi. Yang mubah boleh dilakukan atau ditinggalkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an, Al-Hadis, dan hasil ijtihad para ulama.
Fenomena-fenomena baru yang belum memiliki legitimasi hukum dari Al-Qur’an atau Al-Hadis hukumnya adalah mubah, artinya tidak diperintahkan maupun dilarang. Oleh karena itu, hukum tersebut dikembalikan kepada maslahat manusia. Jika sesuatu memberikan dampak positif, maka dianjurkan; sebaliknya, jika memberikan dampak negatif, maka sebaiknya dihindari. Dalam hal ini, keputusan diserahkan kepada ijtihad ulama yang kompeten, dan beberapa ulama mengkategorikan tindakan ini sebagai bid’ah hasanah—hal baru yang baik.