Adzan untuk keberangkatan haji bukanlah praktik yang umum dilakukan. Saat ini, calon jamaah haji cenderung melakukan pamitan kepada sesepuh, ulama, kiai, dan tokoh masyarakat sekitar satu minggu sebelum hari keberangkatan mereka. Beberapa bahkan mengadakan pengajian akbar dengan menghadirkan muballigh atau kiai dari luar daerah sebagai bagian dari proses pamitan dan permohonan maaf kepada saudara seiman.
Namun, bagi kalangan Nahdlatul Ulama (NU), biasanya diadakan acara yang terstruktur, termasuk sambutan, doa untuk calon jamaah, serta penutup yang diakhiri dengan adzan sebagai tanda keberangkatan.
Adzan ini berdasarkan pada penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, yang menyatakan bahwa disunnahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian, selama perjalanan tersebut tidak ditujukan untuk maksiat. Dalam kitab tersebut juga disebutkan bahwa sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kecuali sekali ketika Umar bin Khattab mengunjungi negeri Syam, yang membuat orang-orang menangis terharu.
Selain itu, ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW biasa mengumandangkan adzan ketika seseorang pamit untuk pergi haji atau bepergian. Ini menunjukkan pentingnya adzan sebagai bentuk doa dan pengharapan bagi keselamatan selama perjalanan.
Praktik ini mencerminkan rasa syukur dan harapan akan kelancaran ibadah haji yang akan dilaksanakan. Adzan menjadi pengingat bagi calon jamaah untuk senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkah perjalanan mereka.