Dari sudut pandang agama, pemerintahan Indonesia dianggap sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, sistem pemilihan langsung oleh rakyat setara dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah sebagai Khalifah. Kedua, presiden terpilih dilantik oleh MPR, yang merupakan gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD. Ini dapat disamakan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia tidak hanya dapat dilihat dari sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden, tetapi juga dari terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia untuk menjaga kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Imam al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad menyatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin (presiden) adalah wajib karena memiliki manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia.
Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia memenuhi tujuan syar’i tersebut melalui institusi pemerintahan, kepolisian, pengadilan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah dan tidak bisa disangkal.
Mengkonversi sistem pemerintahan ke bentuk lain, termasuk khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, tidak diperlukan. Terlebih lagi jika konversi tersebut menimbulkan mudharat yang lebih besar, seperti chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Hal ini dapat menyebabkan kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang terjadinya perang saudara.
Lebih jauh lagi, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh beberapa dalil. Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i. Yang wajib dalam pandangan agama adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemaslahatan dunia, terlepas dari bentuk sistemnya. Para ulama di berbagai negara memperbolehkan dan sering terlibat langsung dalam proses pemerintahan di negara masing-masing. Contoh sistem pemerintahan klasik meliputi Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, dan Daulah Hafshiyyah di Tunis.
Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah masalah aqidah, melainkan persoalan siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Kita boleh berbeda pendapat mengenai sistem pemerintahan sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakat serta mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianut.
Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah dapat berdampak negatif bagi daerah lain. Menegakkan Islam di satu daerah sama halnya dengan merugikan daerah lain yang mungkin tidak sejalan dengan penegakan tersebut. Daerah dengan basis non-Islam akan menuntut hal serupa dalam proses penegakan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional mencerminkan kearifan para pemimpin agama di Indonesia untuk menghindari institusionalisasi agama sebagai tuntutan otonomi daerah.
Keempat, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menerapkan syari’at Islam secara penuh, terutama hukum pidana Islam. Penerapan hukum yang terlalu ketat dapat membuat banyak umat Islam merasa tertekan dan bahkan tidak mengakui diri mereka sebagai Muslim. Hal ini berpotensi menurunkan jumlah umat Islam secara signifikan.
Kelima, sulitnya menentukan apakah tindakan seorang khalifah merupakan langkah politik atau sekadar ambisi kekuasaan dapat menyebabkan perlakuan zalim terhadap para ulama. Sejarah mencatat banyak ulama yang mengalami penindasan oleh khalifah yang mengatasnamakan agama. Jika situasi ini terjadi, ulama nahdliyyin akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah.
Keenam, jika ada kesepakatan untuk menerapkan syari’ah secara formal, tantangannya adalah menentukan teori syari’ah mana yang akan diterapkan. Apakah model Wahabi yang mengabaikan ajaran-ajaran tertentu atau sistem Syi’ah yang telah menimbulkan konflik di berbagai wilayah? Jika itu yang terjadi, warga Nahdliyyin akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda pandangan.
Dalil-dalil di atas semakin meyakinkan bahwa niat untuk mendirikan khilafah Islamiyah akan membawa konsekuensi negatif bagi tampilan Indonesia dan kondisi masyarakat yang akan dipenuhi oleh konflik. Dengan mempertimbangkan pandangan Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi, mengkonversi sistem pemerintahan tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat dampak sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah, menghindari mudharat lebih utama daripada menerapkan kebaikan.
Sistem pemerintahan dalam pandangan agama bukan sekadar sistem untuk sistem itu sendiri, melainkan untuk umat. Sistem apa pun yang dianut harus memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan tanpa menyebabkan kerusakan yang membahayakan keselamatan jiwa dan harta umat. Pemerintahan seharusnya didirikan untuk menata umat agar kehidupan agama dan dunianya aman dari ancaman baik dari dalam maupun luar.
Sejalan dengan pandangan ini, al-Baidlawi berpendapat bahwa esensi pemerintahan adalah menolak kerusakan yang hanya bisa ditangani dengan adanya pemerintahan yang mendorong ketaatan dan mencegah kemaksiatan demi mewujudkan kesejahteraan serta keadilan bagi semua. Esensi pemerintahan adalah tugas profetik dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia.