Kasus gagal dalam menyembelih hewan kurban oleh jagal dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti hewan yang mengamuk, pisau yang kurang tajam, pisau yang jatuh akibat hewan berontak, atau hewan yang tidak langsung mati. Dalam situasi seperti ini, penyembelihan ulang sering kali dilakukan. Pertanyaannya adalah, bagaimana status hukum hewan yang disembelih dalam kondisi tersebut?
Aturan mengenai penyembelihan hewan agar dagingnya halal dikonsumsi telah dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib: “Dan harus memotong apa yang telah disebutkan (yaitu al-hulqum, saluran pernapasan, dan al-mari’, saluran makanan) dalam satu kali potongan, tidak dalam dua kali potongan; karena jika dipotong dalam dua kali potongan, maka hewan yang disembelih menjadi haram. Dan manakala masih tersisa sesuatu dari saluran pernapasan (al-hulqum) dan saluran makanan (al-mari’), maka hewan yang disembelih itu tidak menjadi halal.” Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa syarat dalam menyembelih hewan adalah dengan satu kali potongan. Konsekuensinya, hewan yang disembelih dengan dua kali potongan atau lebih menjadi haram untuk dikonsumsi.
Namun, tidak adanya izin untuk menyembelih dengan dua kali potongan atau lebih bukanlah hukum yang mutlak. Dengan kata lain, penyembelihan dengan dua kali pemotongan atau lebih masih mungkin dianggap halal jika memenuhi syarat tertentu. Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Ibni Qasim menjelaskan bahwa jika tidak terdapat kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) pada potongan kedua, maka hewan yang disembelih menjadi halal. Syaratnya adalah adanya kehidupan yang stabil pada awal potongan terakhir, terutama jika ada jeda yang panjang antara potongan-potongan tersebut.
Imam al-Bujairimi juga menegaskan bahwa tidak ada masalah jika pisau diangkat dan digunakan kembali segera, atau jika pisau dilempar untuk mengambil yang lain. Dalam situasi ini, tidak disyaratkan adanya kehidupan yang stabil dalam pemotongan tersebut; yang penting adalah jeda waktu yang singkat sesuai kebiasaan.
Dengan demikian, pada dasarnya menyembelih hewan agar dagingnya halal dimakan adalah dengan satu kali pemotongan. Dua kali pemotongan diperbolehkan dan dagingnya dihukumi halal dengan syarat jeda antara keduanya tidak lama menurut kebiasaan. Jika terdapat jeda lama antara potongan pertama dan berikutnya, maka hewan harus dalam keadaan stabil (al-hayah al-mustaqirrah).
Mengenai keadaan stabil ini, Imam Taqiyuddin al-Hishni menjelaskan bahwa al-hayat al-mustaqirrah adalah kondisi di mana hewan masih dapat bertahan hidup selama satu atau dua hari. Tanda-tanda hewan dalam keadaan ini meliputi gerakan yang kuat, darahnya memancar, dan aliran darah yang deras setelah penyembelihan. Gerakan yang kuat saja sudah cukup sebagai indikasi bahwa hewan tersebut berada dalam keadaan al-hayat al-mustaqirrah.
Dengan demikian, penyembelihan hewan dengan dua kali pemotongan atau lebih akibat berbagai faktor—seperti hewan mengamuk, pisau tumpul, atau hewan yang tidak segera mati—tidak menghalangi kehalalan daging hewan tersebut, asalkan jeda waktu antara pemotongan pertama dan berikutnya singkat menurut kebiasaan. Semua potongan dianggap satu kali pemotongan bila tidak ada jeda yang panjang.