- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Pajak dalam Perspektif Sejarah Islam dan Konteks Modern

Google Search Widget

Jizyah, pajak yang dikenakan kepada non-Muslim di bawah pemerintahan Islam, memiliki makna dan fungsi yang telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dalam sejarah Islam, pajak ini dipungut sebagai bentuk perlindungan bagi non-Muslim, memungkinkan mereka untuk menjalankan agama mereka tanpa gangguan. Ulama mendefinisikan jizyah sebagai pajak yang diwajibkan kepada setiap individu non-Muslim. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah pajak tidak lagi terbatas pada non-Muslim saja, melainkan juga berlaku untuk semua rakyat tanpa memandang agama.

Sejarah mencatat bahwa terdapat praktik pemungutan pajak yang bersifat wajib bagi seluruh rakyat pada masa pemerintahan Islam. Contohnya adalah penarikan pajak oleh Sultan Al-Zahir Baybars di Syam ketika menghadapi ancaman dari bangsa Tatar. Dalam situasi kritis tersebut, Sultan meminta pendapat para ulama dan mendapatkan izin untuk menarik pajak dari rakyat demi membiayai angkatan bersenjata. Begitu pula, Amirul Mukminin Yusuf bin Tasyfin di Andalusia juga mengumpulkan para ulama untuk membahas kebutuhan dana guna mempersiapkan pasukan melawan musuh, dan mereka sepakat bahwa tindakan tersebut diperbolehkan.

Kebijakan pemungutan pajak dalam konteks sejarah menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penerapan pajak terhadap semua rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, ketika dibutuhkan untuk kepentingan negara. Ini penting untuk menjaga kelangsungan pemerintah dan melindungi negara dari ancaman.

Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa seorang pemimpin yang adil dapat mengenakan pajak kepada orang-orang kaya jika kas negara kosong. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tentara dan menjaga keamanan negara. Dalam konteks saat ini, pemimpin negara dapat melakukan pungutan pajak agar kas negara dapat mendukung kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pada zaman pertengahan, jizyah berfungsi sebagai alat integrasi antara penguasa Muslim dan warga non-Muslim. Namun, dalam konteks modern, prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan hukum menjadikan konsep jizyah tidak lagi relevan. Di Indonesia, penerapan pajak harus mengikuti sistem konvensional yang berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama.

Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengenalan pajak wajib dalam kajian fiqih Islam. Pertama, harus ada kebutuhan primer yang nyata, seperti menjaga keamanan negara. Kedua, penerapan pajak harus dilakukan secara adil dan tidak membebankan orang yang tidak mampu. Ketiga, hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, serta keempat, pemerintah perlu berkonsultasi dengan pakar sebelum mengenakan pajak.

Dalam perspektif Nahdlatul Ulama, kewajiban membayar pajak tetap berlaku meskipun ada potensi penyalahgunaan dana. Penggelapan dana pajak harus diatasi dengan tegas. Kewajiban ini berlandaskan pada taat kepada ulil amri (pemerintah) demi kemaslahatan bersama.

Dengan demikian, kewajiban membayar pajak saat ini dianggap penting sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah dan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat melalui program-program yang dibiayai dari dana pajak.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?