Hari raya Idul Adha pada tahun 2020 jatuh pada hari Jumat, menimbulkan pertanyaan terkait kewajiban shalat Jumat bagi sebagian orang yang telah menunaikan shalat Id pada pagi harinya. Hal ini mengundang pemahaman dari berbagai sudut pandang fiqih.
Dalam hadits, terdapat keringanan terkait pelaksanaan shalat Jumat bagi orang pedalaman yang telah mengikuti shalat Id di kota pada pagi hari. Keringanan ini didasari pada kesepakatan ulama mazhab Syafi’i, di mana penduduk pedalaman diperbolehkan untuk tidak mengikuti shalat Jumat setelah shalat Id.
Pandangan tersebut juga ditemukan dalam keterangan Imam As-Sya’rani yang menjelaskan bahwa kewajiban shalat Jumat tidak gugur bagi penduduk kota jika Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat, namun berbeda bagi penduduk pedalaman yang diizinkan untuk meninggalkan shalat Jumat.
Namun, terdapat perbedaan pendapat dari ulama lain seperti Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Imam Atha terkait kewajiban shalat Jumat dalam situasi tersebut. Masing-masing memberikan pandangan yang berbeda sesuai dengan interpretasi hukum yang mereka anut.
Di Indonesia, terutama di pulau Jawa, di mana akses masjid relatif mudah dijangkau, konsep penduduk kota dan pedalaman dalam konteks ini dapat dilihat secara berbeda. Sebagian besar daerah di Indonesia cenderung memiliki masjid yang mudah diakses, sehingga pemahaman tersebut tidak selalu kontekstual.
Dalam prakteknya, kita tetap disarankan untuk melaksanakan shalat sunnah Idul Adha dan shalat Jumat sebagai ibadah yang tetap harus dipenuhi. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dari para ulama, penting bagi kita untuk memahami dan menempatkan konteksnya secara proporsional.
Semoga pemahaman ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas terkait perspektif fiqih terkait shalat Jumat dan Idul Adha. Kita selalu terbuka untuk menerima masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.