Pertanyaan seputar boleh tidaknya perempuan berprofesi sebagai hakim sering menjadi perbincangan yang menarik. Dalam konteks ini, kita perlu melihat pandangan Islam terhadap profesi perempuan di Indonesia, termasuk menjadi hakim, mubaligah, mufti di MUI, dan profesi lainnya.
Hakim merupakan posisi vital dalam menjaga keadilan masyarakat. Para ulama memberikan perhatian khusus terhadap syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang hakim, seperti kemampuan menalar, kematangan, independensi, serta keselamatan indra vital dalam bekerja.
Dalam hal syarat gender untuk menjadi hakim, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mensyaratkan bahwa hakim harus berjenis kelamin laki-laki. Namun, Mazhab Hanafi memberikan peluang bagi perempuan untuk menjadi hakim dalam kasus perdata, bukan pidana.
Imam Ibnu Jarir At-Thabari bahkan memperbolehkan perempuan untuk menjadi hakim dalam berbagai kasus. Menurutnya, perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam profesi hakim dan juga sebagai mufti.
Dalam konteks Indonesia, kesempatan bagi perempuan untuk menjadi hakim terbuka lebar. Penting bagi calon hakim, baik pria maupun wanita, untuk mempersiapkan diri dengan pendidikan khusus, disiplin tertentu, serta pelatihan keterampilan yang diperlukan.
Pengangkatan seorang hakim harus didasari oleh syarat formal yang ditetapkan negara guna memastikan kompetensi, keahlian, integritas, serta kode etik yang harus dipatuhi. Dengan demikian, profesi hakim bukanlah hal yang bersifat eksklusif berdasarkan gender, melainkan meritokrasi yang terbuka bagi siapapun yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Semoga pemahaman ini dapat membantu kita melihat dengan lebih luas mengenai keterbukaan profesi hakim bagi perempuan di Indonesia dari perspektif Islam. Selalu terbuka untuk menerima masukan dan kritik demi perbaikan ke depan. Semoga bermanfaat. Terima kasih.