Pada bulan Ramadhan lalu, Masjidil Haram dipenuhi oleh jamaah umrah hingga menyebabkan kondisi yang sangat sesak. Banyak orang bahkan harus shalat tawaf dengan isyarat karena keterbatasan ruang. Dalam situasi seperti ini, bagaimana seharusnya kita menyelesaikan shalat tawaf dengan baik?

Mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa shalat tawaf adalah sunnah, meskipun ada sebagian kecil ulama yang menganggapnya wajib. Shalat sunnah tawaf dilakukan dengan dua rakaat di belakang maqam Ibrahim. Namun, jika kondisi penuh sesak membuat sulit untuk shalat di belakang maqam, seseorang dapat mencari tempat lain untuk melaksanakan shalat tawaf.

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa jika tidak memungkinkan untuk shalat di belakang maqam, shalat tawaf dapat dilakukan di Hijir. Jika tidak memungkinkan juga, dapat dilakukan di sudut masjid manapun. Jika masih tidak memungkinkan, shalat tawaf bisa dilakukan di luar Tanah Haram. Tidak ada ketentuan khusus mengenai tempat dan waktu untuk melaksanakan shalat sunnah tawaf.

Penting untuk dicatat bahwa shalat tawaf bukan merupakan rukun atau syarat dari tawaf itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada konsekuensi bagi jamaah haji dan umrah yang tidak melaksanakan shalat sunnah tawaf. Meski demikian, disarankan bagi mereka yang meninggalkan shalat sunnah tawaf untuk membayar dam sebagai kompensasi.

Dalam prakteknya, baik shalat sunnah tawaf itu dianggap wajib atau sunnah, tawaf tetap sah tanpa adanya shalat sunnah tersebut. Seorang jamaah haji dan umrah tidak diwajibkan membayar kompensasi apapun atas keterlambatan atau ketidakhadiran dalam shalat sunnah tawaf.

Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai solusi dalam melaksanakan shalat tawaf di tengah kondisi Masjidil Haram yang sesak. Kami senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca yang budiman.

Wallahu a’lam bish-shawab. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.