Passive income, atau yang sering disebut sebagai pendapatan pasif, adalah salah satu bentuk pendapatan yang banyak diminati oleh banyak orang. Namun, apakah passive income diperbolehkan dalam fiqih Islam? Pertanyaan ini seringkali muncul dan menjadi perdebatan di kalangan umat Islam.
Dalam perspektif fiqih Islam, syarat utama agar suatu pendapatan dianggap sah adalah bahwa pendapatan tersebut berasal dari hasil usaha dan produksi yang halal. Artinya, pendapatan harus diperoleh melalui kegiatan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
Dalam konteks bisnis, terdapat dua istilah pendapatan yang diakui sebagai sah dalam Islam. Pertama, pendapatan yang diperoleh melalui transaksi jual beli dan jasa. Kedua, pendapatan yang diperoleh dari hasil akad niaga dan investasi. Penting untuk diingat bahwa pendapatan harus diperoleh melalui aktivitas usaha yang jelas dan tidak ambigu.
Pendapatan dari hasil jual beli, niaga, dan investasi disebut sebagai laba (ribhun). Syarat utama untuk memperoleh laba adalah melalui transaksi jual beli yang sah menurut syariah. Begitu pula dengan investasi, syarat bagi hasil (deviden) dapat diterima jika modal diserahkan secara jelas dan dikelola bersama-sama.
Selain itu, pendapatan dari menjual jasa disebut sebagai ujrah atau upah. Upah ini diperoleh melalui pengerjaan suatu pekerjaan atau layanan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.
Bonus juga merupakan bentuk pendapatan yang dapat diterima asalkan bonus tersebut diberikan sebagai imbalan atas penyelesaian suatu misi atau tugas yang telah ditentukan. Bonus harus diberikan oleh pihak yang menyuruh setelah misi atau tugas diselesaikan dengan baik.
Namun, dalam konteks passive income seperti yang dijelaskan dalam pertanyaan di atas, terdapat beberapa pertimbangan penting. Passive income yang diperoleh melalui pembentukan tim atau jaringan anggota harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar dianggap sah menurut syariah.
Jika passive income diperoleh tanpa melalui aktivitas jual beli atau produksi barang secara langsung, maka hal tersebut dapat menimbulkan keraguan terhadap keabsahan pendapatan tersebut dalam pandangan agama Islam. Selain itu, bonus atau passive income yang diperoleh harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah agar tidak bertentangan dengan hukum agama.
Dengan demikian, penting bagi umat Islam untuk memahami dengan jelas prinsip-prinsip fiqih Islam terkait dengan pendapatan agar tidak terjerumus ke dalam praktik-praktik yang dapat meragukan kehalalan pendapatan yang diperoleh. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai passive income dalam perspektif fiqih Islam. Jika masih terdapat keraguan atau pertanyaan lebih lanjut, disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli ekonomi syariah yang kompeten.