Dalam praktik kehidupan sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada situasi yang kompleks dan memerlukan penjelasan dari sudut pandang agama. Salah satu contohnya adalah ketika seorang perempuan menikah secara sirri dengan seorang lelaki dan kemudian suaminya menghilang tanpa kabar selama dua tahun. Pada saat itu, ada lelaki lain yang tertarik untuk meminangnya.
Perempuan dan keluarganya pun bingung dengan situasi tersebut. Jika menerima pinangan tersebut, perempuan tersebut masih dalam status pernikahan pertamanya. Namun, jika menolak, suaminya telah lama menghilang tanpa tanggung jawab dan keberadaannya tidak diketahui. Upaya membawa kasus ini ke pengadilan agama juga menjadi sulit karena pernikahan mereka tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam fiqih Islam, situasi di mana seorang suami menghilang tanpa kabar dikenal dengan istilah “mafqud”. Ada dua pendapat dari kalangan ulama terkait dengan masalah ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa seorang perempuan harus menunggu hingga yakin bahwa ikatan pernikahannya dengan suami pertamanya telah terputus, baik karena kematian suami, kabar talak, atau alasan lain yang meyakinkan. Kemudian, perempuan tersebut harus menjalani masa iddah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa seorang perempuan harus menunggu selama empat tahun qamariyah sejak hilangnya suaminya, kemudian melakukan iddah selama empat bulan 10 hari. Penggunaan masa empat tahun di sini dijadikan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan.
Kedua pendapat ini memiliki dasar hukum yang kuat dalam tradisi fiqih Islam dan telah disampaikan oleh berbagai ulama terkemuka seperti Imam As-Syafi’i, Umar bin Al-Khattab, Ibnu Abbas, Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud, dan ulama dari generasi tabi’in.
Dalam memahami dan menyelesaikan kasus seperti ini, penting untuk memperhatikan pandangan agama dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Semoga penjelasan singkat ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana menangani situasi di mana seorang suami menghilang tanpa kabar dalam perspektif fiqih Islam.
Tetaplah terbuka untuk menerima saran dan kritik konstruktif dari berbagai pihak demi tercapainya pemahaman yang lebih baik dalam menjalani kehidupan berkeluarga sesuai dengan ajaran agama.
Wallahu a’lam bishawab.