Dalam masyarakat, praktik penyerahan pemeliharaan hewan ternak dengan skema bagi hasil sering dijumpai. Contohnya adalah ketika seseorang menitipkan sapi kepada pihak lain untuk dirawat dengan perjanjian bahwa jika sapi tersebut melahirkan dua anak, satu anak akan menjadi milik pemilik sapi dan satu anak lagi akan menjadi milik pemelihara. Namun, apakah praktik ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam?
Dari sudut pandang hukum Islam, praktik tersebut tidak dapat dianggap sah. Sebab, dalam kasus seperti ini, pembagian hasil pemeliharaan tidak didasarkan pada usaha yang dilakukan oleh pemelihara hewan ternak. Selain itu, upah yang dijanjikan juga tidak jelas pada saat perjanjian dilakukan. Misalnya, upah berupa anak sapi yang belum tentu pasti lahir.
Menurut Muhammad Khathib Asy-Syarbini dalam kitab “Al-Iqna fi Halli Alfazhi Abi Syuja
“, apabila seseorang menyerahkan hewan peliharaan kepada orang lain untuk digunakan bekerja atau dipelihara dengan pembagian hasil di antara keduanya, maka akad tersebut dianggap tidak sah. Hal ini disebabkan karena upah yang dijanjikan tidak jelas dan belum pasti terjadi.
Dengan demikian, diperlukan kejelasan dalam perjanjian pemeliharaan hewan ternak agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Semoga informasi ini bermanfaat bagi pembaca yang ingin memahami lebih dalam mengenai praktik bagi hasil pemeliharaan hewan ternak dalam masyarakat. Tetaplah terbuka untuk menerima masukan dan kritik yang membangun. Terima kasih.