Pada prinsipnya, dalam Islam, pembagian harta warisan harus memenuhi dua kewajiban utama sebelum dibagikan kepada ahli waris. Pertama, pembayaran hak Allah seperti zakat jika harta warisan sudah mencapai nishab. Kedua, melunasi utang-utang yang masih ada. Sisa harta setelah memenuhi kewajiban tersebutlah yang kemudian dibagikan kepada ahli waris.
Jika pewaris meninggalkan utang tanpa meninggalkan harta warisan, maka ahli waris tidak berkewajiban untuk membayar utang tersebut. Namun, jika ahli waris bersedia membayar utang tersebut, hal itu diperbolehkan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, jika pewaris meninggalkan harta warisan yang terkait dengan utang, ahli waris dapat memilih untuk menggunakan harta warisan tersebut untuk melunasi utang atau membayar utang dari harta pribadinya.
Dalam kasus di mana seorang ahli waris (anak laki-laki) memutuskan untuk membayar utang ayahnya yang meninggal, ada dua hal yang perlu diperjelas. Pertama, apakah pembayaran utang tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua atau karena kesepakatan sebelumnya bahwa harta warisan akan digunakan untuk membayar utang tersebut. Kedua, konsekuensi dari pembayaran utang tersebut terhadap pembagian harta warisan.
Jika utang bapak menjadi tanggung jawab anak laki-laki, maka pembagian warisan tetap mengikuti ketentuan Islam, di mana ibu mendapatkan 1/8 bagian sedangkan sisanya dibagi empat, masing-masing perempuan mendapatkan satu bagian, dan dua bagian untuk anak laki-laki. Namun, jika sudah ada kesepakatan sebelumnya bahwa utang akan diganti dengan harta warisan, maka harta tersebut menjadi hak anak laki-laki.
Saran kami adalah untuk membicarakan masalah ini secara kekeluargaan dan hindari konflik yang dapat timbul akibat ketidakjelasan dalam pembagian harta warisan dan pembayaran utang. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat bagi Anda yang sedang menghadapi situasi serupa.