Uang suap politik, atau money politik, merupakan tindakan yang dilarang baik menurut ajaran agama maupun undang-undang. Praktik ini tergolong sebagai risywah (suap) dalam Islam, yang dijelaskan sebagai perbuatan dosa baik bagi pemberi maupun penerima. Syekh Nawawi Banten menyatakan bahwa menerima suap adalah haram, karena suap diberikan agar qadhi (hakim) memberikan putusan yang tidak benar atau untuk menghindari putusan yang seharusnya diberikan.
Dalam konteks hukum positif di Indonesia, praktik suap politik dilarang secara tegas oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 280 ayat (1) huruf j dan Pasal 286 ayat (1) mengatur larangan bagi penyelenggara, peserta, tim kampanye, pasangan calon, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lainnya guna mempengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih.
Dalam kajian fiqih, terdapat perbedaan pendapat mengenai alokasi uang hasil suap politik. Pendapat pertama menyatakan bahwa uang suap harus dikembalikan kepada pemilik asalnya. Imam As-Subki memfatwakan bahwa risywah haram bagi penerima dan pemberi, dan wajib untuk mengembalikannya kepada pemiliknya. Jika pemilik asal tidak diketahui, uang tersebut dapat diserahkan ke baitul mal.
Pendapat kedua menyatakan bahwa uang suap politik dapat diserahkan kepada pemerintah atau baitul mal. Meskipun pendapat ini dianggap lemah dari segi fiqih, namun dalam konteks Indonesia, penyerahan uang suap kepada pemerintah dapat menjadi opsi yang lebih praktis jika sulit untuk mengembalikannya kepada pemilik asalnya.
Perlu adanya kejelasan dari pemerintah terkait alokasi uang suap politik agar aturan main pemilu menjadi lebih komprehensif dan transparan. Dengan demikian, upaya pencegahan terhadap praktik money politik dapat dilakukan secara lebih efektif. Wallahu a’lam.