Dalam agama Islam, penghiasan masjid menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Al-Baghawi, seorang ulama terkemuka, mengemukakan dua pendapat berbeda terkait masalah ini. Pertama, beliau menyatakan bahwa mengukir masjid dengan dana sukarela tidak termasuk dalam bentuk kemungkaran yang harus diingkari. Namun, pendapat kedua menyatakan bahwa menghias masjid dengan dana wakaf tidak diperbolehkan.
Perbedaan pendapat ini menggarisbawahi pentingnya illat (alasan) dalam menentukan hukum syariat. Penggunaan dana tabarru’ (sukarela) untuk menghias masjid dianggap memuliakan simbol-simbol Islam, sementara penggunaan dana wakaf dianggap dapat mengganggu khusyuknya orang yang shalat.
Beberapa ulama melarang penghiasan masjid karena khawatir akan menyerupai praktik orang kafir. Hadits-hadits yang menyebutkan tentang larangan ini kemudian menjadi dasar bagi pendapat sebagian ulama.
Namun demikian, ada juga pandangan yang memperbolehkan penggunaan sutra untuk menghias masjid, sebagaimana halnya Ka’bah yang ditutup dengan kain sutra. Hal ini menunjukkan adanya pengecualian tertentu terkait penggunaan bahan tertentu dalam menghias masjid.
Secara umum, ulama dari empat mazhab sepakat bahwa penghiasan masjid dengan emas dan perak adalah haram. Namun, terdapat perbedaan pendapat terkait penggunaan sutra, di mana ada yang memperbolehkannya untuk Ka’bah namun tidak untuk masjid lain.
Dengan demikian, dalam konteks menghias masjid, penting untuk memperhatikan jenis bahan yang digunakan agar tidak mengganggu konsentrasi dan khusyuk dalam beribadah. Larangan terhadap penghiasan masjid sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits bisa dipahami jika bahan dekorasi yang digunakan berasal dari barang yang diharamkan seperti emas, perak, atau sutra.