Memakai senjata tajam seperti parang, golok, anak panah, bambu runcing, senjata api, atau meriam tidak serta-merta menjadikan suatu tindakan sebagai perang di jalan Allah. Tindakan semacam itu lebih tepat disebut tawuran antardesa. Perang di jalan-Nya tidak hanya memerlukan alat, tetapi juga pikiran yang matang.
Jihad, sebagai istilah untuk perang di jalan Allah, memiliki makna yang lebih dalam. Perang baru dapat disebut jihad jika tujuannya adalah untuk menegakkan agama Allah sebagai syiar. Jihad dianggap sebagai ibadah yang sangat dianjurkan dalam agama. Namun, motivasi seseorang untuk berperang bisa bervariasi, mulai dari keberanian, menjaga harga diri, hingga niat yang tidak tulus. Lalu, siapakah yang pantas disebut mujahid?
Rasulullah SAW memberikan penjelasan mengenai hal ini. Beliau bersabda, “Siapa saja yang maju ke medan perang dengan niat agar agama Allah menjadi naik (syiar), maka ia telah berjuang di jalan Allah.” Namun demikian, para ulama menekankan pentingnya pertimbangan dan pemikiran sebelum memutuskan untuk berperang di jalan Allah. Keputusan tersebut harus melibatkan musyawarah antar ulama untuk memastikan bahwa jihad adalah kewajiban umat Islam pada saat itu.
Contoh nyata dari penerapan prinsip ini adalah fatwa Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) pada November 1945. Fatwa ini lahir dari pemikiran matang para ulama dan bukan berdasarkan emosi sesaat. Dalam kitab Dalilul Falihin yang merupakan syarah dari Riyadlus Shalihin, M bin Alan Ash-shiddiqy menjelaskan bahwa perang di jalan Allah harus didasarkan pada kekuatan pikiran dan bukan pada kekuatan amarah atau nafsu.
Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh mengambil keputusan sendiri terkait jihad. Mereka harus menunggu fatwa dan kebijaksanaan para kiai yang akan mempertimbangkan berbagai aspek dari situasi yang ada. Selama para kiai belum mengeluarkan fatwa jihad, umat Islam sebaiknya tidak menganggap diri mereka berhak untuk maju ke medan perang berdasarkan emosi dan nafsu semata.
Kesalahan dalam pengambilan keputusan bisa mengakibatkan kekacauan di tengah masyarakat yang damai, mirip dengan anak-anak yang terlibat tawuran. Bukannya membawa nama baik bagi Islam, tindakan tersebut justru dapat mencemarkan citra agama dari dalam. Wallahu A‘lam.