Pada saat pemilihan umum, para pemilih sering diminta untuk mencelupkan jarinya ke dalam tinta pemilu sebagai tanda telah menggunakan hak pilih. Namun, muncul pertanyaan apakah sahnya shalat apabila dilakukan dengan sisa warna tinta pemilu di jari yang tidak hilang setelah dicuci. Hal ini menimbulkan perdebatan terkait kesucian tinta pemilu itu sendiri.

Sebelum membahas apakah shalat tetap sah dengan adanya sisa warna tinta pemilu di jari, penting untuk memahami apakah tinta pemilu mengandung najis. Untuk mengetahui hal ini, diperlukan kajian laboratorium lebih lanjut. Jika hasil uji laboratorium menyatakan bahwa tinta pemilu mengandung najis, maka harus dilakukan upaya membersihkannya sebaik mungkin dengan menggunakan sabun atau zat pembersih lainnya.

Jika setelah dicuci warna tinta pemilu masih tersisa di jari, namun benda tersebut dianggap suci. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa sisa warna najis yang sulit dihilangkan tidak membatalkan kesucian suatu benda, seperti halnya sisa noda darah haid yang telah dicuci namun masih meninggalkan bekas.

Para ulama memberikan pedoman bahwa upaya membersihkan benda yang tercemar najis sebanyak tiga kali dengan tetap menyisakan warna najis merupakan langkah yang memadai. Jika setelah upaya tersebut warna najis masih tersisa, hal tersebut tidak menjadi masalah dalam syariat.

Semua aturan ini berlaku jika tinta pemilu terbukti mengandung unsur najis. Namun, jika hasil uji laboratorium menyatakan sebaliknya, maka shalat dapat dilakukan tanpa perlu melakukan upaya membersihkan sisa warna tinta pemilu di jari. Jadi, yang terpenting adalah menjaga kesucian dalam menjalankan ibadah sehari-hari.

Semoga penjelasan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang baik. Tetaplah terbuka untuk menerima kritik dan saran dari berbagai pihak demi meningkatkan pemahaman kita dalam menjalankan ibadah. Semoga kita selalu diberikan petunjuk yang benar dalam melaksanakan kewajiban agama. Wassalamu’alaikum wr. wb.