Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait kewajiban mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang diputar melalui kaset atau radio. Sebagian ulama menganggapnya sebagai kewajiban, sementara yang lain menyebutkan sebagai sunnah. Perbedaan ini terutama berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an di luar shalat.
Pada suatu Mukamar NU ke-26, diputuskan bahwa Al-Qur’an yang didengar melalui kaset dianggap sama dengan bacaan Al-Qur’an yang didengar dari benda mati, seperti jamadat. Oleh karena itu, mendengarkan bacaan Al-Qur’an melalui media rekaman tidak dihukumi sebagai mendengarkan Al-Qur’an secara langsung. Hal ini menjadi wacana menarik dalam diskusi keagamaan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa jika seseorang menjadikan radio sebagai latar belakang tanpa benar-benar memperhatikan bacaan Al-Qur’an yang diputar, hal tersebut tidak dianggap sebagai dosa. Menurut penjelasan dalam kitab Al-Adzkar, membaca Al-Qur’an dengan suara keras yang mengganggu orang lain dapat dikategorikan sebagai perbuatan haram. Ulama menekankan pentingnya memperhatikan situasi sekitar agar tidak mengganggu orang lain, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami konteks dan situasi sebelum membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Jika memungkinkan untuk membaca dengan suara keras tanpa mengganggu orang lain, maka itu dapat dilakukan. Namun, jika situasinya tidak memungkinkan, disarankan untuk membaca dengan suara lirih.
Semoga pemahaman ini dapat memberikan pencerahan bagi kita semua dalam memahami tata cara mendengarkan bacaan Al-Qur’an melalui media rekaman. Semoga kita senantiasa diberikan keberkahan dalam menjalankan ibadah kita sehari-hari.